Semenjak awal dunia telah melakukan penelusuran hakikat
asal usul dari manusia. Seperti mengungkap kotak hitam misteri
yang tak pernah ditemukan kunci pembukanya, pemecahan seluk
beluk sejarah manusia telah menyita waktu dan pemikiran yang
menimbulkan penafsiran bermacam-macam. Masing-masing
pemikir atau asumsi umum silih berganti mengajak masyarakat
menjadi penganut perspektif tersebut. Diantaranya adalah tiga
asumsi besar yang hadir pada masyarakat awam sebelum jaman
pencerahan. Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya
makhluk manusia memang diciptakan beraneka macam atau
poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa yang
berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan
kuat. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling
sempurna dan paling tinggi. Cara berpikir yang kedua adalah
yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu hanya
pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu
makhluk induk dan bahwa semua makhluk manusia di dunia ini
merupakan keturunan Adam. Sebagian dari mereka yang punya
pandangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman makhluk
manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah; sebagai
akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang
pernah dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain
berpendapat bahwa sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan
tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi apabila pada
masa kini terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh tingkat
kemajuan mereka yang berbeda. Makhluk manusia yang mereka
jumpai di Afrika, Asia dan Oceanea merupakan keturunan Nabi
Adam yang nenek moyang mereka ‘lebih rendah’ dibandingkan
dengan nenek moyang orang-orang Eropa.
Kebangkitan kembali terhadap studi kesusastraan dan ilmu
pengetahuan Yunani dan Rumawi Klasik yang terjadi pada abad
XVI di Eropa atau yang dikenal dengan Renaissance; menimbulkan
rasionalisme yang pada akhirnya menyebabkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di Eropa. Pada masa itu, yaitu sampai
abad XVIII, Eropa mengalami zaman Aufklarung atau ‘Pencerahan
Pencerahan’.Berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya
untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk manusia dan
kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi. Beranekamacam
kajian anatomi komparatif yang dilakukan, lebih ditekankan
atas dasar keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia. Selain itu,
ada sebagai para ahli filsafat sosial di masa Aufklarung, mulai
mengkaji berbagai bentuk-bentuk masyarakat dan tingkah laku
makhluk manusia. Berbagai gejala dan tingkah laku manusia,
dicoba untuk dipahami dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah
alam. Untuk itu metodologi ilmu eksaksta, khususnya biologi,
kerapkali dicoba untuk diterapkan untuk mengkaji perilaku
manusia. Kesemuanya itu tidak terlepas dari kekaguman mereka
terhadap kemajuan ilmu alam dan ilmu pasti yang terjadi pada
zaman itu. Beraneka ragam gejala perilaku makhluk manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, dianalisis secara induktif
dengan mencari unsur-unsur persamaan yang ada; kemudian
diupayakan dirumuskannya sebagai kaidah-kaidah sosial. Cara
berpikir rasional yang akhirnya berkembang menjadi aliran positivisme
sangat mewarnai para cendekiawan pada zaman
Aufklarung. Mereka percaya bahwa berbagai kaidah tersebut akan
dapat dipergunakan untuk mengatur dan merubah suatu
masyarakat.
Agaknya, pola pikir para cendekiawan masa Aufklarung yang
memandang masyarakat dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan,
yang mana bagian-bagian dan unsur-unsurnya saling terkait antara
satu dengan lainnya sebagai suatu sistem yang bulat; sampai
sekarang ini masih tetap relevan dalam antropologi, terutama
yang mengacu pada metode pendekatan holistik.
Wujud dari keanekaragaman masyarakat manusia itu di samping
disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing;
juga karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internalnya.
Oleh karenanya sesuatu unsur atau adat dalam suatu kebudayaan,
tidak dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan
harus dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan itu sendiri
(relativisme kebudayaan). Atas dasar itu, ia mengajukan konsep
pemikirannya bahwa pada dasarnya kebudayaan umat manusia
adalah berkembang melalui suatu tingkat-tingkat evolusi tertentu.
Kebudayaan yang dimiliki orang Eropa merupakan contoh dari
tahap akhir suatu proses evolusi tersebut.
Sejak pertama kalinya, makhluk yang bercirikan manusia
muncul di muka bumi sekitar satu juta tahun yang lalu, yaitu
dengan ditemukannya fosil dari makhluk Pithecanthropus Erectus,
sampai dengan sekarang ini, telah terjadi berbagai perubahan
kebudayaan yang dimilikinya; sementara itu proses evolusi
organik makhluk manusia tidak secepat perkembangan kebudayaannya.
Oleh karenanya kebudayaan menunjukkan satu sifat
khasnya yakni superorganik. Apabila proses evolusi kebudayaan
dibandingkan dengan proses evolusi fisik dari makhluk manusia,
sampai pada suatu kurun waktu tertentu masih berjalan sejajar.
Akan tetapi pada suatu tahap perkembangan tertentu, diduga
proses perubahan kebudayaan berjalan amat cepat sekali seolaholah
meninggalkan proses evolusi organiknya.
Selain disebabkan oleh mekanisme lain seperti munculnya
penemuan baru atau invention, difusi dan akulturasi; perubahan
suatu lingkungan akan dapat pula mengakibatkan terjadinya
perubahan kebudayaan. Selama perjalanan waktu yang lama,
dengan akal yang dimilikinya, makhluk manusia semakin memiliki
kemampuan menyempurnakan kebudayaan yang dimilikinya.
Setiap kali mereka berupaya menyempurnakan dirinya, maka
akan menyebabkan perubahan kebudayaannya. Suatu perubahan
kebudayaan dapat berasal dari luar lingkungan pendukung
kebudayaan tersebut. Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan
perubahan dan perkembangan, akhirnya juga menyebabkan
terjadinya pertumbuhan; sementara itu tidak tertutup kemungkinan
hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama sebagai akibat
ditemukannya unsur-unsur kebudayaan baru. Dalam rangka studi
akulturasi, para ahli antropologi telah lama mencoba untuk
memahami terjadinya perbedaan derajat perubahan perkembangan
suatu kebudayaan.
Sementara itu dalam sejarah perkembangan kebudayaan
umat manusia, Childe (1998) berpendapat bahwa ada tiga jenis
revolusi terpenting dalam sejarah perkembangan kebudayaan
makhluk manusia. Perubahan kebudayaan yang demikian pesat
atau lebih dikenal dengan Revolusi Kebudayaan Pertama, terjadi
tatkala makhluk manusia yang termasuk Homo Sapiens pada
sekitar 80.000 tahun yang lalu, mereka masih hidup dari berburu
dan meramu. Kepandaian bercocok tanam baru muncul sekitar
sepuluh ribu tahun yang lalu di sekitar daerah pertemuan Sungau
Tigris dan Eufrat atau di Lembah Mesopotamia. Setelah ia
mengenal sistem pemukiman kota, artinya ia mulai juga bertempat
tinggal di kota-kota pada enam ribu tahun yang lalu di Pulau
Kreta Yunani, terjadilah suatu Revolusi Kebudayaan kedua; dan
setelah itu perkembangan kebudayaan manusia semakin pesat.
Akhirnya pada abad XVII di Inggris, terjadi Revolusi Industri, dan
oleh Gordon Childe dianggap sebagai Revolusi Kebudayaan
ketiga. Setelah Revolusi Industri, makhluk manusia mengenal
teknik memproduksi barang secara massal karena tenaga manusia
mulai digantikan dengan mesin-mesin yang ditemukan. Sejak
itulah, kebudayaan umat manusia semakin tumbuh dengan pesat
seolah-olah melepaskan dirinya dari proses evolusi organik atau
evolusi biologis makhluk manusia.
Menurut Morgan, 1877 (dalam Poerwanto, 2000) menyatakan
bahwa tingkat kemajuan masyarakat manusia dapat dibagi ke
dalam tiga periode evolusi, yaitu periode masyarakat berburu
atau periode liar (savage), periode beternak (barbarism) dan periode
pertanian yang berkembang ke arah peradaban atau civilitation .
Dalam konteks tersebut, para cendekiawan di masa Aufklarung
selalu menempatkan bangsa-bangsa di luar Eropa sebagai contoh
orang yang tingkat perkembangan kebudayaannya berada pada
tahap awal.
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah
makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia akan
mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada
keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan
makhluk manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada
anak-cucu mereka; melainkan dapat pula secara horisontal yaitu
manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya.
Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka
kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi
berikutnya oleh indiividu lain. Berbagai gagasannya dapat
dikomunikasikannya kepada orang lain karena ia mampu
mengembangkan gagasan-gagasannya itu dalam bentuk lambanglambang
vokal berupa bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya,
dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan.
Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus,
ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan
ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa
ke masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di
berbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya
unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan.
Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat
dipandang ketinggalan zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya
dipandang asing atau janggal.
C. Pendidikan dalam Lingkup Kebudayaan
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan
dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil
perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik
dengan lingkungan fisik maupun non fisik. Hasil perolehan
tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah
mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah.
Pada akhirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia. Disini kebudayaan dapat
disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam.
Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang
memicu akal budi manusia untuk mengelola keadaan menjadi
sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Dalam konteks hidupnya demi membentuk ketahanan hasil
buah budi tersebut manusia melanjutkan dalam suatu tatanan
simbol yang memberi arah bagi kehidupan. Sistem simbol ini
menjadi rujukan utama bagi masyarakat pendukung dalam berpikir
maupun bertindak. Proses selanjutnya yang terjadi adalah
hubungan transformatif dan penguatan sistem simbol agar dapat
diteruskan kepada anggota berikutnya. Selain itu selama kehidupan
berjalan unsur-unsur kebudayaan selalu berubah menyesuaikan
perkembangan jaman. Dalam hal ini sistem simbol
dengan sendirinya melakukan reaksi untuk mengintegrasikan
perubahan atas unsur kebudayaan. Agen yang berfungsi sebagai
transmitor produk budaya kepada anggota (khususnya generasi
muda) adalah pendidikan. Hal ini mengingat pendidikan itu tiada
lain adalah wahana pembelajaran segala bentuk kemampuan bagi
sang pembelajar agar menjadi manusia dewasa.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang
sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang
sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justeru pendidikan
memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai
budaya. Dari paparan terakhir dapat ditangkap bahwa pada
dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses pembentukan
kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang
dimiliki.
Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita
cermati dalam ciri khas manusia sebagai makhluk simbolik.
Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbolsimbol
di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu
dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan
dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol
maka semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung
pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari
apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan
para pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan
kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara
bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan
itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggotaanggotanya.
Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan
diterangkan dalam urutan pembahasan dibawah ini.
1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat
dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian
manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah
sekadar jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar antropologi,
menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidakbidak
di dalam papan catur kebudayaan. Individu adalah kreator
dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam hal ini studi
kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler”
yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat
suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam perkembangan
kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan
akan dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian
tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian
dan kebudayaan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa
pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif
tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif. Pranata
sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan
kepribadian yang kreatif tersebut. Namun apa yang
terjadi di dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita
ialah sekolah telah menjadi sejenis penjara yang memasung
kreativitas peserta didik.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk
tingkah-laku yang bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah laku
manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi
yang harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa
dalam suatu generasi. Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan
pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.
Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan
dalam kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris
dan psikoanalisis Para ahli psikologi behaviorisme melihat perilaku
manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan dari sekitarnya.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku
manusia. Begitu pula psikolog aliran psikoanalis menganggap
perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar
maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di
mana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan
pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan
kepribadian manusia sebagai berikut.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang
tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar
akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan
meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan
perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku
tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”
terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan
mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan sistem
nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikanmengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan
tertentu melalui proses belajar.
Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa
peranan kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia,
maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan kepribadian
juga akan tampak dengan jelas. Terutama bagi para pakar
aliran behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan kebudayaan
terhadap pengembangan kepribadian manusia. Pada
dasarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian
tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999) dapat dilukiskan
sebagai berikut.
a. Kepribadian adalah suatu proses. Seperti yang telah kita lihat
kebudayaan juga merupakan suatu proses. Hal ini berarti
antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika. Tentunya
dinamika tersebut bukanlah suatu dinamika yang otomatis
tetapi yang muncul dari aktor dan manipulator dari
interaksi tersebut ialah manusia.
b. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan
untuk mencapai suatu misi tertentu. Keterarahan perkembangan
tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong
tetapi dalam suatu masyarakat manusia yang berbudaya.
c. Dalam perkembangan kepribadian salah satu faktor penting
ialah imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperolehnya
secara langsung dari lingkungan kebudayaannya. Manusia
tanpa imajinasi tidak mungkin mengembangkan kepribadiannya.
Hal ini berarti apabila seseorang hidup terasing
seorang diri dari nol di dalam perkembangan kepribadiannya.
Bayangkan bagaimana kehidupan kebudayaan manusia
apabila setiap kali harus dimulai dari nol.
d. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam
masyarakat agar ia dapat hidup dan berkembang. Tentunya
manusia itu dapat saja menentang tujuan hidup yang ada di
dalam masyarakatnya, namun demikian itu berarti seseorang
akan melawan arus di dalam perkembangan hidupnya. Yang
paling efisien adalah dia secara harmonis mencari keseimbangan
antara tujuan hidupnya dengan tujuan hidup dalam
masyarakatnya.
e. Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang
berkembang itu dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu
yang dekat maupun tujuan dalam waktu yang panjang. Baik
waktu yang dekat maupun tujuan dalam jangka waktu yang
panjang, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup di dalam
suatu masyarakat.
f. Berkaitan dengan keberadaan tujuan di dalam pengembangan
kepribadian manusia, dapatlah disimpulkan bahwa proses
belajar adalah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan.
Learning is agoal teaching behavior.
g. Dalam psikoanalisis juga dikemukakan mengenai peranan
super-ego dalam perkembangan kepribadian. Super-ego tersebut
tidak lain adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti
yang telah diuraikan, dunia masa depan yang ideal merupakan
kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan
oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat.
h. Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia.
Bersama-sama dengan ego, beserta ide, keduanya merupakan
energi yang ada di dalam diri pribadi seseorang. Energi
tersebut perlu dicarikan keseimbangan dengan kondisi yang
ada serta dorongan super-ego diarahkan oleh nilai-nilai budaya.
Dengan kata lain di dalam pengembangan ide, ego, dan
super-ego dari kepribadian seseorang berarti mencari keseimbangan
antara energi di dalam diri pribadi dengan pola-pola
kebudayaan yang ada.
2. Penerusan Kebudayaan
Satu proses yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah
transmisi kebudayaan. Proses tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan
itu ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan yang merumuskan
proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan.
Mengenai masalah ini marilah kita cermati lebih jauh oleh karena
seperti yang telah dijelaskan, kepribadian bukanlah semata-mata
hasil tempaan dari kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah
aktor dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Dengan demikian,
kebudayaan bukanlah sesuatu entity yang statis tetapi
sesuatu yang terus-menerus berubah.
Untuk membuktikan hal tersebut marilah kita lihat variabelvariabel
transmisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Fortes
dalam Koentjoroningrat (1991). Di dalam transmisi tersebut kita
lihat tiga unsur utama yaitu, (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2)
proses transmisi, dan (3) cara transmisi.
Unsur-unsur kebudayaan manakah yang ditransmisi? Pertama-
tama tentunya unsur-unsur tesebut ialah nilai-nilai budaya,
adat-istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup serta berbagai
konsep hidup lainnya yang ada di dalam masyarakat. Selanjutnya
berbagai kebiasaan sosial yang digunakan dalam interaksi
atau pergaulan para anggota di dalam masyarakat tersebut. Selain
itu, berbagai sikap serta peranan yang diperlukan di dalam dunia
pergaulan dan akhirnya berbagai tingkah-laku lainnya termasuk
proses fisiologi, refleks dan gerak atau reaksi-reaksi tertentu
dalam penyesuaian fisik termasuk gizi dan tata-makanan untuk
dapat bertahan hidup.
Proses transmisi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi
dan sosialisasi. Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar.
Pertama-tama tentunya imitasi di dalam lingkungan keluarga dan
semakin lama semakin meluas terhadap masyarakat lokal. Yang
diimitasi adalah unsur-unsur yang telah dikemukakan di atas.
Transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan sendirinya.
Seperti telah dikemukakan manusia adalah aktor dan manipulator
dalam kebudayaannya. Oleh sebab itu, unsur-unsur tersebut harus
diidentifikasi. Proses identifikasi itu berjalan sepanjang hayat
sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Seorang
bayi, seorang pemuda, seorang dewasa, mempunyai kemampuan
yang berbeda-beda dalam mengidentifikasi unsur-unsur budaya
tersebut. Selanjutnya nilai-nilai atau unsur-unsur budaya tersebut
haruslah disosialisasi artinya harus diwujudkan dalam kehidupan
yang nyata di dalam lingkungan yang semakin lama semakin
meluas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan
pengakuan lingkungan sekitarnya. Artinya perilaku-perilaku
tersebut harus mendapatkan pengakuan sosial yang berarti
bahwa perilaku-perilaku yang dimiliki tersebut adalah yang
sesuai atau yang seimbang dengan nilai-nilai yang ada di dalam
lingkungannya.
Rangkaian transmisi berangkat dari imitasi, identifikasi, dan
sosialisasi, berkaitan dengan bagaimana cara mentransimisikannya
mentransimisikannya.
Dalam hal ini ada dua bentuk peran-serta dan bimbingan.
Cara transmisi dengan peran-serta antara lain dengan melalui
perbandingan. Demikian pula peran-serta dapat berwujud ikutserta
di dalam kegiatan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat.
Bentuk bimbingan tesebut melalui pranata-pranata tradisional
seperti inisiasi, upacara-upacara yang berkaitan dengan
tingkat umur, sekolah agama, dan sekolah formal yang sekuler.
Demikianlah proses transmisi kebudayaan sebagai proses
pendidikan yang dikemukakan oleh Fortes. Proses tersebut terjadi
di dalam suatu masyarakat sederhana yang relatif tertutup dari
pengaruh dunia luar. Di dalam dunia terbuka dewasa ini dengan
kemajuan teknologi komunikasi, proses transmisi kebudayaan
yang sederhana tersebut tentunya telah berubah. Data dan informasi
dengan mudah dapat diperoleh sehingga peranan lingkungan
bukan lagi lingkungan sosial yang terbatas tetapi lingkungan
yang mondial. Dengan demikian proses transmisi kebudayaan
di dalam masyarakat modern akan menghadapi tantangan-
tantangan yang berat. Di sinilah letak peranan pendidikan
untuk mengembangkan kepribadian yang kreatif dan dapat
memilih nilai-nilai dari berbagai lingkungan. Dalam hal ini kita
berbicara mengenai keberadaan kebudayaan dunia yang meminta
suatu proses pendidikan yang lain yaitu kepribadian yang kokoh
yang tetap berakar kepada budaya lokal. Hanya dengan kesadaran
terhadap nilai-nilai budaya lokal akan dapat memberikan
sumbangan bagi terwujudnya nilai-nilai global.
3. Pendidikan dan Proses Pembudayaan
Seperti yang telah kita bicarakan mengenai transmisi kebudayaan,
nilai-nilai kebudayaan bukanlah hanya sekadar dipindahkan
dari satu bejana ke bejana berikut yaitu kepada generasi mudanya,
tetapi dalam proses interaksi antara pribadi dengan kebudayaan
betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan bukan pasif. Di
dalam proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi
dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi,
fokus, krisis, dan prediksi masa depan serta banyak lagi terminologi
lainnya. Beberapa proses tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Penemuan atau Invensi
Dua konsep tersebut merupakan proses terpenting dalam
pertumbuhan dan kebudayaan. Hal itu mengingat tanpa penemuan-
penemuan yang baru dan tanpa invensi suatu budaya akan
mati. Biasanya pengertian kedua terminologi ini dibedakan. Suatu
penemuan berarti menemukan sesuatu yang sebelumnya belum
dikenal tetapi telah tersedia di alam sekitar atau di alam semesta
ini. Misalnya di dalam sejarah perkembangan umat manusia terjadi
penemuan-penemuan dunia baru sehingga pemukiman
manusia menjadi lebih luas dan berarti pula semakin luasnya
penyebaran kebudayaan. Selain itu, di dalam penemuan dunia
baru akan terjadi difusi atau proses lainnya mengenai pertemuan
kebudayaan-kebudayaan tersebut. Istilah invensi lebih terkenal di
dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dengan invensi maka umat manusia dapat menemukan halhal
yang dapat mengubah kebudayaan. Dengan penemuan-penemuan
melalui ilmu pengetahuan maka lahirlah kebudayaan
industri yang telah menyebabkan suatu revolusi kebudayaan terutama
di negara-negara barat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu pesat telah membuka horizon baru di dalam
kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan berkembang begitu
cepat secara eksponensial sehingga apa yang ditemukan hari ini
mungkin besok telah usang. Lihat saja misalnya revolusi komputer
yang dapat berkembang setiap saat dan bagaimana peranan
komputer di dalam kehidupan manusia modern. Kita hidup di
abad digital yang serba cepat dan serba terukur. Semua hal ini
merupakan suatu revolusi di dalam kehidupan dan kebudayaan
manusia. Melalui invensi manusia menemukan berbagai jenis
obat-obatan yang mempengaruhi kesehatan dan umur manusia.
Akan tetapi juga melalui kemajuan ilmu pengetahuan manusia
menemukan alat-alat pemusnah massal yang dapat menghancurkan
kebudayaan global.
Invensi teknologi terutama teknologi komunikasi mengubah
secara total kebudayaan dunia. Abad 21 disebut sebagai milenium
teknologi yang akan mempersatukan manusia dan mungkin pula
budayanya. Hal ini mengandung bahaya dengan masafikasi kebudayaan
manusia. Masafikasi kebudayaan dapat berupa komersialisasi
kebudayaan dan konsemuerisme yang berarti pendangkalan
kebudayaan. Selain itu, pendangkalan kebudayaan akan
berakibat dalam pembentukan kepribadian manusia. Seperti kita
lihat, manusia menjadi manusia melalui kebudayaannya. Memanusia
berarti membudaya,. Dapat kita bayangkan bagaimana
jadinya proses memanusia dalam kebudayaan global. Hal ini
berarti manusia akan kehilangan identitasnya dan kepribadiannya
akan berbentuk kepribadian kodian.
b. Difusi
Difusi kebudayaan berarti pembauran dan atau penyebaran
budaya-budaya tertentu antara masyarakat yang lebih maju
kepada masyarakat yang lebih tradisional. Pada dasarnya setiap
masyarakat setiap jaman selalu mengalami difusi. Hanya saja
proses difusi pada jaman yang lalu lebih bersifat perlahan-lahan.
Namun hal itu berbeda dengan sekarang dimana abad komunikasi
mampu menyajikan beragam informasi yang serba cepat dan
intens, maka difusi kebudayaan akan berjalan dengan sangat
cepat.
Bagaimanapun juga didalam masyarakat sederhana sekalipun
proses difusi kebudayaan dari barat tetap menyebar. Hal itu dapat
dibuktikan melalui pengamatan Margaret Mead dalam Tilaar
(1999) yang meneliti masyarakat di kepulauan pasifik. Beberapa
waktu setelah pengamatan Mead terhadap masyarakat tersebut
telah terjadi perubahan masyarakat yang cukup berarti. Apa yang
ditemukan oleh Margaret Mead dari suatu masyarakat yang
tertutup dan statis ketika beliau kembali telah menemukan suatu
masyarakat yang terbuka yang telah mengadopsi usnur-unsur
budaya Barat. Lihat saja misalnya apa yang terjadi di negara kita,
bagaimana pengaruh Kebangkitan Nasional terhadap kehidupan
suku-suku bangsa kita. Sumpah Pemuda pada tahun 1928 telah
melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan/atau
bahasa nasional yang notabene berasal dari bahasa Melayu dari
puak Melayu yang hidup di pesisir Sumatera. Pengaruh bahasa
Indonesia terhadap kebudayaan di Nusantara sangat besar
sampai-sampai banyak anak-anak sekarang terutama di kota-kota
besar yang tidak lagi mengenal bahasa lokalnya atau bahasa ibu.
Kita memerlukan suatu kebijakan pendidikan untuk memelihara
bahasa ibu dari anak-anak kita.
c. Akulturasi
Salah satu bentuk difusi kebudayaan ialah akulturasi. Dalam
proses ini terjadi pembaruan budaya antarkelompok atau di
dalam kelompok yang besar. Dewasa ini misalnya unsur-unsur
budaya Jawa telah masuk di dalam budaya sistem pemerintahan
di daerah. Nama-nama petugas negara di daerah telah mengadopsi
nama-nama pemimpin di dalam kebudayaan Jawa seperti
bupati, camat, lurah, dan unsure-unsur tersebut telah disosialisasi
dan diterima oleh masyarakat luas. Begitu pula terjadi akulturasi
unsur-unsur budaya antarsub-etnis di Nusantara ini. Proses
akulturasi tersebut lebih dipercepat dengan adanya sistem pendidikan
yang tersentralisasi dan mempunyai kurikulum yang
uniform.
d. Asimilasi
Proses asimilasi dalam kebudayaan terjadi terutama antaretnis
dengan subbudaya masing-masing. Kita lihat misalnya unsur
etnis yang berada di Nusantara kita ini dengan subbudaya
masing-masing. Selama perjalanan hidup negara kita telah terjadi
asimilasi unsur-unsur budaya tersebut. Biasanya proses asimilasi
dikaitkan dengan adanya sejenis pembauran antar-etnis masih
sangat terbatas dan kadang-kadang dianggap tabu. Namun dewasa
ini proses asimilasi itu banyak sulit dihilangkan. Apalagi halhal
yang membatasi proses prejudis, perbedaan agama dan kepercayaan
dapat menghalangi suatu proses asimilasi yang cepat. Di
dalam kehidupan bernegara terdapat berbagai kebijakan yang
mempercepat proses tersebut, ada yang terjadi secara alamiah ada
pula yang tidak alamiah. Biasanya proses asimilasi kebudayaan
yang terjadi di dalam perkawinan akan lebih cepat dan lebih
alamiah sifatnya.
e. Inovasi
Inovasi mengandalkan adanya pribadi yang kreatif. Dalam
setiap kebudayaan terdapat pribadi-pribadi yang inovatif. Dalam
masyarakat yang sederhana yang relatif masih tertutup dari
pengaruh kebudayaan luar, inovasi berjalan dengan lambat.
Dalam masyarakat yang terbuka kemungkinan untuk inovasi
menjadi terbuka karena didorong oleh kondisi budaya yang
memungkinkan. Oleh sebab itu, di dalam masyarakat modern
pribadi yang inovatif merupakan syarat mutlak bagi perkembangan
kebudayaan. Inovasi merupakan dasar dari lahirnya suatu
masyarakat dan budaya modern di dalam dunia yang terbuka
dewasa ini.
f. Fokus
Konsep ini menyatakan adanya kecenderungan di dalam
kebudayaan ke arah kompleksitas dan variasi dalam lembaga-lembaga
serta menekankan pada aspek-aspek tertentu. Artinya berbagai
kebudayaan memberikan penekanan kepada suatu aspek tertentu
misalnya kepada aspek teknologi, aspek kesenian seperti
dalam kebudayaan Bali, aspek perdagangan, dan sebagainya. Proses
pembudayaan yang memberikan fokus kepada teknologi
misalnya akan memberikan tempat kepada pengembangan teknologi
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang. Tidak
jarang terjadi dengan adanya fokus terhadap teknologi maka nilainilai
budaya yang lain tersingkirkan atau terabaikan. Hal ini tentu
merupakan suatu bahaya yang dapat mengancam kelanjutan
hidup suatu kebudayaan. Dalam dunia pendidikan hal ini sudah
terjadi seperti di Indonesia. Dunia barat yang telah lama memberikan
fokus kepada kemampuan akal, menekankan kepada
pembentukan intelektualisme di dalam sistem pendidikannya.
Dengan demikian aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti nilainilai
g. Krisis
Konsep tersebut merupakan konsekuensi akibat proses akulturasi
kebudayaan. Suatu contoh yang jelas timbulnya krisis di
dalam proses westernisasi terhadap kehidupan budaya-budaya
Timur. Sejalan dengan maraknya kolonialisme ialah masuknya
unsur-unsur budaya Barat memasuki dunia ketiga. Terjadilah proses
akulturasi yang kadang-kadang menyebabkan hancurnya
kebudayaan lokal. Timbul krisis yang menjurus kepada hancurnya
sendi-sendi kehidupan orisinil. Lihat saja kepada krisis moral
yang terjadi pada generasi muda yang diakibatkan oleh masuknya
nilai-nilai budaya Barat yang belum serasi dengan kehidupan
budaya yang ada. Keluarga mengalami krisis, peranan orang tua
dan pemimpin mengalami krisis. Krisis kebudayaan tersebut akan
lebih cepat dan intens di dalam era komunikasi yang pesat.
Krisis dapat menyebabkan dis-organisasi sosial misalnya
dalam gerakan reformasi total kehidupan. Bangsa Indonesia
dewasa ini di dalam memasuki era reformasi menghadapi suatu
era yang kritis karena masyarakat mengalami krisis kebudayaan.
Apabila gerakan reformasi tidak diarahkan sebagai suatu gerakan
moral maka gerakan tersebut akan kehilangan arah.
D. Sekilas tentang Perubahan Sosial
Masyarakat manusia di manapun tempatnya pasti mendambakan
kemajuan dan peningkatan kesejahteraan yang optimal.
Kondisi masyarakat secara obyektif merupakan hasil tali temali
antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta karakteristik
individu. Ketiga-tiganya selalu berhubungan antara satu sama lain
sehingga membentuk sebuah bangunan masyarakat yang dapat
dilihat sebagai sebuah realitas sosial. Perjalanan panjang dalam
rentangan periode kesejarahan telah mengajak masyarakat manusia
menelusuri hakikat kehidupan dan tata cara kehidupan yang
berkembang pesat. Kemampuan akal budi sebagai instrumen
unggulan manusia telah melahirkan beraneka ragam karya cipta
melesat melampaui aspek-aspek material dilingkungan luarnya.
Dengan demikian, senjata pamungkas tersebut rupanya berperan
besar menafsirkan realitas sosial yang selama ini dipandang sebagai
kenyataan alamiah yang steril dari kemungkinan intervensi
kekuatan manusia.
Kiranya semenjak diakuinya kemampuan akal mengungkap
kekuatan alam, secara perlahan-lahan kalangan pemikir mulai
melirik masyarakat sebagai obyek yang mampu dipahami gejalagejalanya
lalu dikendalikan dan disusun rekayasa sosial berdasarkan
pemahaman menyeluruh tentang kondisi obyektif msayarakat
tersebut.
Lahirnya ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi manandai
bahwa masyarakat sebagai kenyataan kini dipahami seperti
sebuah benda yang bisa “diutak-atik”. Begitu pula tentang perubahan
sosial, terlepas dari berbagai definisi perubahan sosial,
pada hakikatnya telah mampu mengungkap hukum-hukum dan
antisipasi proses-proses sehingga mampu memberikan kontribusi
terhadap peradaban manusia.
Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk
peradaban manusia akibat adanya ekskalasi perubahan alam,
biologis maupun kondisi fisik maka pada dasarnya perubahan
sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang
hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai
dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian
yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan
dalam masyarakat.
Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya
akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia
dalam kaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Kehidupan
manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola belajarnya akan
berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Menurut Peter Senge,
2000 (dalam Salim, 2002) bahwa manusia akan menjumpai (1)
ruang kelas dalam sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan
kelas sehingga melibatkan unsur guru, orang tua dan murid.
(2) Lingkungan sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan
sekolah sehingga melibatkan unsur kepala sekolah, kelompok
pengajar, murid di kelas lain dan pegawai administrasi. (3) lingkungan
komunitas masyarakat: manusia akan belajar dari lingkungan
komunitasnya sehingga mencakup peran serta masyarakat,
kelompok-kelompok belajar sepanjang hidup, birokrasi
yang mendukung, sumber informasi yang luas dan beragam dll.
Dengan begitu kehidupan manusia tidak dapat dilepas dari peran
ketiga lingkungan sistem aktivitas belajar dan mencermati dirinya,
terbentuknya kesadaran, pengalaman yang menggelitas dan keberanian
untuk mulai menapak menggunakan potensi yang dimilikinya.
Analogi dengan pemikiran itu, apa yang dapat dinyatakan
dengan lengkap, perubahan sosial adalah suatu proses yang luas,
lengkap yang mencakup suatu tatanan kehidupan manusia. Perubahan
sosial tidak hanya dilihat sebagai serpihan atau kepingan
dari peristiwa sekelompok manusia tetapi fenomena itu menjadi
saksi adanya suatu proses perubahan empiris dari kehidupan
umat manusia.
Oleh karena itu daya serap perubahan sosial akan selalu
merembes ke segala segi kehidupan yang dihuni oleh manusia,
khususnya dalam sektor pendidikan. Perubahan sosial akan mempengaruhi
segala aktivitas maupun orientasi pendidikan yang
berlangsung. Intervensi kekuatan proses tersebut juga mencakup
semua proses pendidikan yang terjadi di berbagai sektor lain
masyarakat. Baik dari tingkat basis keluarga sampai interaksi
antar pranata sosial. Sebagai bagian dari pranata sosial, tentunya
pendidikan akan ikut terjaring dalam hukum-hukum perubahan
sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Sebaliknya, pendidikan sebagai wadah pengembangan kualitas
manusia dan segala pengetahuan tentunya menjadi agen penting
yang ikut menentukan perubahan sosial masyarakat ke
depan. Karena perubahan sosial mengacu pada kualitas masyarakat
sementara kualitas masyarakat tergantung pada kualitas
pribadi-pribadi anggotanya maka tentunya lembaga pendidikan
memainkan peranan yang cukup signifikan menentukan sebuah
perubahan sosial yang mengarah kemajuan.
Mengingat begitu eratnya keterkaitan perubahan sosial
dengan pendidikan maka pembahasan perubahan sosial menempati
ruang tersendiri dalam analisa sosiologi pendidikan. Sebagai
bagian dari gejala sosial maka upaya untuk mengupas perubahan
sosial akan tetap merujuk pada ilmu induk yang menaunginya
yakni sosiologi.
sumber referensi : http://www.uns.ac.id/data/sp8.pdf